Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Dalam
beberapa hari terakhir, kita sudah membahas tentang kesibukan dari berbagai
aspek. Hingga kita memahami bahwa ada kesibukan semu. Yaitu kebibukan yang kita
klaim. Kita ini sebenarnya tidak sibuk. Tapi kita merasa sibuk sekali. Itu yang
kita sebut sebagai sibuk dari Hong Kong. Yang kedua adalah kesibukan yang
sebenarnya. Nggak dibuat-buat. Kita benar-benar sibuk hingga ke ubun-ubun.
Sekalipun demikian, sejauh ini kita baru membahas kesibukan itu dari aspek
pribadi.
Artinya, bagaimana kita secara pribadi menyikapi kesibukan itu. Agar
efektivitas dan produktivitas pribadi bisa tetap terpelihara. Pertanyaannya
adalah; apakah kesibukan itu bisa diatasi secara kelembagaan, system atau
melalui kebijakan? Supaya sebanyak apapun pekerjaan, karyawan bisa menikmati
hari-hari kerjanya. Dan terus bersemangat dalam jangka panjang. Gampangnya
begini; sebagai seorang pemimpin, bisakah Anda membantu perusahaan dan anak
buah Anda untuk mengelola kesibukan hingga ke ubun-ubun itu secara tepat?
Jika
mengenang kisah itu, saya masih suka senyum-senyum sendiri. Saya ceritakan ya,
tapi disamarkan detailnya. Dikantor kami dulu ada atasan yang betah sekali
bekerja. Efek sampingnya adalah; anak buahnya jadi sungkan kalau mau pulang.
Padahal, untuk meninggalkan kantor, mereka mesti melintasi ruang kerja beliau.
Ada teman nih, yang sudah nggak tahan. Pengen pulang. Wajar dong, kan sudah
malam. Maka dia pun mengendap-endap menuju pintu keluar. Sudah bagus sih
tekniknya. Tidak ada suara dari sepatunya. Tidak ada hal apapun yang
mencurigakan. Maka, kawan kita pun melanjutkan jinjitnya sambil membungkuk.
Ndilalah. Selagi merayap itu, bossnya kepingin ke toilet. Maka beliau pun
bergegas keluar dari ruangannya. Pas didepan pintu, beliau melihat anak buahnya
sedang merayap dengan tubuh yang ditekuk. Mereka pun sama-sama terperanjatnya.
Yang satu terkejut karena ketahuan. Yang satu lagi terkejut karena mengira ada
mahluk jadi-jadian. Ini salah satu contoh dampak dari tata kelola yang keliru
terhadap kesibukan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mengelola
kesibukan yang terjadi di kantor, saya ajak memulainya dengan memahami dan
menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:
1.
Kesibukan itu bukan rutinitas. Salah satu ciri kesibukan yang sebenarnya
adalah; tidak terjadi setiap hari secara terus menerus. Sengaja saya
menggunakan kalimat negatif ini; “tidak terjadi setiap hari secara terus
menerus”. Mengapa? Karena kita sering keliru mengira bahwa team kerja atau
perusahaan yang paling baik adalah team kerja yang setiap hari bekerja pak pik
pek terus. Selalu mulai paling awal. Dan selalu selesai paling akhir. Dengan
mulut manyun dan muka kusyut sepanjang waktu. Padahal, jika kesibukan itu sudah
menjadi sebuah rutinitas, maka ada kemungkinan bahwa hal itu terjadi karena ada
yang salah dalam cara kerja atau proses bisnis mereka. Jadi, jika team kerja
yang Anda pimpin ‘selalu’ sibuk sehingga hal-hal rutin berupa tugas-tugas pokok
harian itu sudah menyita waktu dan energy yang sedemikian banyaknya, sebaiknya
jangan berbangga hati dulu. Karena boleh jadi, justru hal merupakan sebuah
sinyal adanya ketidakberesan dalam pola kerja team Anda. Hampir bisa
dipastikan, bahwa kesibukan sampai keubun-ubun yang menjadi rutinitas bukan
kesibukan yang tepat. Karena kesibukan itu, bukan sebuah rutinitas.
2.
Temukan alasan logis munculnya kesibukan itu. Penting lho, untuk
menemukan alasan yang logis tentang munculnya kesibukan yang kita alami.
Misalnya, sedang ada proyek yang sudah mendekati deadline. Atau sedang ada
jadwal submission laporan keuangan kuartalan ke kantor pusat. Atau, system
sedang crash sehingga mesti segera diatasi. Perhatikan kembali ketiga situasi
diatas. Semuanya menuntut kita bekerja sampai larut malam. Bahkan mesti sampai
menginap. Namun sangat jelas alasannya. Karena ada sesuatu yang istimewa a.k.a
kejadian luar biasa yang menuntut kita untuk bekerja dengan kesibukan luar
biasa. Perhatikan frase ‘luar biasa’ yang saya gunakan. Itu menunjukkan bahwa
kesibukan hingga ke ubun-ubun bukanlah untuk hal-hal yang biasa-biasa saja.
Bukan untuk tugas harian normal. Dan bukan untuk kesibukan yang tidak jelas
alasannya. Ketika kita bisa menunjukkan alasan logis itu kepada anak buah; maka
mereka juga akan mudah untuk memahami, dan menerima konsekuensinya. Yaitu
berupa; dukungan penuh dari mereka untuk bekerja ‘habis-habisan’ dalam situasi
yang sudah mereka pahami secara logis itu. Ini menunjukkan bahwa alasan logis,
bisa menggungah aspek nurani anak buah kita. So, temukan alasan logisnya; maka
anak buah Anda akan berkomitmen penuh mendukungnya.
3.
Menjadi pemain utama dalam gelangggang kesibukan. “Gimana, sudah
selesai?” Pertanyaan itu bisa menjadi sangat menyebalkan, jika datang dari
atasan yang dia sendiri tidak ikut terlibat dalam kesibukan anak buahnya.
Bayangkan deh. Anda dihadapkan pada situasi urgent sekali. Maka Anda punya
alasan logis untuk sibuk banget kan? Tapi atasan Anda cuman ongkang-ongkang
kali doang. Terus dia bertanya seperti tadi. Mending kalau Anda beneran sudah
selesai. Kalau belum, “pengen diapain ya itu orang?” kira-kira begitulah
serapah dalam hati Anda bukan? Tapi. Pertanyaan itu juga bisa terdengar merdu,
jika keluar dari mulut seorang atasan yang ikut terlibat langsung dalam
kesibukan yang minta ampun itu. Anda senang mendapat pertanyaan itu, karena
beliau ikut merasakan ketegangan dan kesulitannya bersama Anda. “Belum Pak,
dikit lagi nih…” kan begitu jawabnya kira-kira. Coba kalau beliau bertanya
sambil asyik sendiri di ruang kerjanya? Anda tidak akan punya semangat untuk
menyelesaikannya. Kira-kira sikap seperti itu jugalah yang akan terjadi, jika
kita yang menjadi atasan itu. Anak buah kita, akan respek kepada kita jika kita
pun ikut terlibat. Bukan cuman nonton doang. Merintah-merintah melulu. Padahal
kita sendiri asyik-asyik aja. So, jadilah pemain utama dalam gelanggang
kesibukan itu bersama anak buah Anda.
4.
Kesibukan pribadi bukan kesibukan kolektif. “Kan sudah jadi
konsekuensi kalian. Mau jadi pegawai tapi tidak mau sibuk? Kerja di perusahaan
nenek kamu sendiri saja kalau begitu,” begitulah kira-kira tuntutan seorang
atasan kepada anak buahnya. Beliau, memang dikenal sebagai orang yang sangat
rajin bekerja. Datang selalu paling pagi. Pulang selalu paling malam. Jika yang
menjadi beliau itu Anda, maka ketahuilah; bahwa cara kerja Anda itu tidak akan
bisa diikuti oleh anak buah. Kenapa? Karena mereka, bukanlah Anda. Boleh saja
jika Anda mau kerja extra terus menerus. Tapi, Anda bahkan tidak berhak
menuntut hal yang sama dari anak buah Anda. Banyak lho, atasan yang gila kerja
kemudian menuntut anak buahnya juga berperilaku sama. “Elo belum boleh pulang,
kalau gue belum pulang!” Walhasil, beliau selalu memandang negatif anak buahnya
yang tidak dikantor selama beliau. Sedangkan anak buahnya merasa diperlakukan
seperti robot. Tidak nyambung deh antara atasan dan bawahan. Jadi jika Anda
berada pada posisi sebagai atasan dan Anda suka sekali kerja extra, maka
penting juga untuk Anda pahami bahwa pola kesibukan pribadi kita, tidak bisa
dipaksakan untuk menjadi pola kesibukan kolektif di lingkungan atau team yang
kita pimpin.
5.
Terlihat baik, belum tentu baik-baik saja “Nggak masalah kok Dang. Selama ini
baik-baik saja.” Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti itu? Kalimat yang
datang dari atasan yang mengira team kerjanya baik-baik saja. Padahal
sebenarnya tidak. Indikasinya apa? Satu, anak buah suka ngomongin di belakang.
Dua, anak buahnya suka menggerutu. Tiga, anak buahnya giat hanya jika beliau
ada. Empat, beliau sendiri mesti cape mengecek bolak balik. Lima – yang lebih
parah nih – tingkat turn over karyawan di team kerjanya tinggi. Mungkin
kinerjanya juga tinggi lho, memang. Namun, keberhasilan sebuah kepemimpinan
tidaklah semata-mata diukur dengan angka-angka produksi. Melainkan juga dari
tingkat kenyamanan dan kesediaan anak buah kita untuk tinggal bersama kita di
team yang kita pimpin. Banyak lho atasan yang merasa bangga karena team
kerjanya selalu menghasilkan kinerja yang tinggi dari hasil memforsir anak
buahnya terus menerus. Makanya, mereka mengira semuanya baik-baik saja.
Padahal, anak buahnya pada sibuk membeli koran hari sabtu dan minggu. Itu yang
sering sekali mereka tidak tahu.
Hloh!
Bukankah perusahaan untung jika karyawannya di buat sibuk sampai ke ubun-ubun
secara terus menerus? Benar. Namun keuntungan yang didapat perusahaan dengan
cara seperti itu hanya bersifat sesaat. Dalam jangka panjang, justru perusahaan
yang rugi. Misalnya kerugian dari perginya talenta-talenta terbaik kita. Soal
talenta ini, kita tidak bisa mengatakan; ”gampanglah, cari saja gantinya.
Banyak kok yang mau kerja.” Hati-hati. Yang mau kerja memang banyak. Tapi yang
benar-benar punya talenta terasah? Nggak semudah yang kita kira untuk kembali
menggaet mereka. Belum lagi kalau dihitung biayanya. Waktu yang tersita. Sumber
daya lain yang tidak terdayagunakan secara optimal. Ujung-ujungnya, zero sump
up juga. Jadi, siapa yang paling bertanggungjawab untuk mengatasi hal ini?
Setiap orang yang punya anak buah. Tidak masalah titelnya apa. Juga tidak jadi
soal levelnya seberapa. Jika punya anak buah; maka kita punya kewajiban untuk
mengelola kesibukan di kantor dengan sebaik-baiknya.
Salam
hormat,
Mari Berbagi Semangat!
www.dadangkadarusman.com
0 komentar:
Posting Komentar